Oleh : Yulia Ummu Muhammad
Setiap wanita yang melahirkan adalah seorang ibu. Fitrah setiap ibu adalah sayang dengan anaknya. Tidak perlu ibu yang cerdas untuk mengasuh seorang anak. Karena Allah sudah menciptakan setiap manusia memiliki naluri Nau atau kasih sayang. Setiap ibu seharusnya sayang kepada anak-anaknya, apalagi Allah menciptakan anak- anak dengan bentuk fisik yang menyenangkan pandangan, pipi chuby, bau harum, mata yang polos hingga tingkah lucunya yang akan selalu menjadi penghibur hati ketika lelah menerpa. Merawat anak berbeda dengan merawat orangtua lansia yang membutuhkan kesabaran ekstra karena "kelucuan" itu sudah tidak ada lagi di tengah ketidakberdayaan. Menyuapi bayi memandikan, bahkan membersihkan kotoran bisa menjadi hal yang menyenangkan. Inilah fitrah seorang ibu. Jika fitrah ini diarahkan dengan ilmu yang benar, yaitu Islam, maka jadilah akan terlahir generasi-generasi terbaik. Ketika fitrah ibu ini berjalan seiring dengan pemahaman seorang ibu bagaimana Rasulullah mencontohkan cara berkomunikasi dengan bayi misalnya, maka seorang ibu juga tidak akan stress ketika bayinya tidak mau makan. Fitrah nau jika dipenuhi dengan Ilmu syariah tidak hanya akan menjadikan ibu mengasuh dengan benar, tapi juga mendidik generasi mutiara-penyejuk pandangan. Sebagaimana generasi terdahulu, generasi ulama, generasi ghazi, generasi yang meninggikan kalimat Allah dan bermanfaat untuk agama dan manusia. Hingga kita saksikan manusia-manusia hebat hasil asuhan dan didikan para ibu, Imam Syafii, Sholahudin al Ayyubi, Muhammad al Fatih dan masih banyak lagi yang lahir dalam masa kecemerlangan peradaban Islam. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa keberhasilan para ibu ini, merupakan buah dari peradaban Islam yang memiliki sejumlah hukum yang memuliakan wanita yakni kaum ibu. Islam tidak memberikan kewajiban nafkah atas kaum ibu, sehingga mereka bisa fokus untuk mengasuh dan mendidik anak. Allah juga menjadikan setiap keringat, air susu bahkan tetes darah yang dikeluarkan seorang ibu selama melahirkan, menyusui dan mengasuh anak dengan pahala yang besar, yang menjadikan setiap ibu akan kuat dan sabar dalam mengasuh dan mendidik anak, bukan seperti dalam peradaban saat ini, anak digambarkan sebagai beban, sehingga mengasuh anak tak lagi menjadi hal menarik. Munculnya ide-ide seperti childfree menjadikan para wanita enggan memiliki anak. Ide yang merupakan buah dari liberalisme ini menjadikan pandangan terhadap melahirkan, menyusui dan mengasuh anak hanya sebagai aktifitas materi yang melelahkan bahkan menyakitkan. Memang benar melahirkan, menyusui dan mengasuh anak itu berat secara fisik, tapi ketika para wanita mengingat besarnya pahala disisi Allah, maka semua rasa sakit dan lelah menjadi tidak berarti. Inilah kontradiksi bagaimana sebuah peradaban dengan pemahaman-pemahaman khas didalamnya akan mempengaruhi pola sikap masyarakatnya. Peradaban Islam telah terbukti berhasil melahirkan para ibu terbaik pencetak generasi terbaik.
Berbagai kasus yang menimpa anak belakangan ini telah membuat shock, kami para ibu. Tidak hanya terjadi di Indonesia, seorang ibu tega menghabisi anak kandungnya sendiri, bahkan di jantung kapitalisme, Amerika, kasus viral, seorang ibu rela meninggalkan anaknya demi liburan 10 hari. Apa yang ada dibenak sang ibu hingga begitu tega seperti itu? Padahal sebagai seorang ibu, jangankan meninggalkan anak 10 hari, meninggalkan anak bayi sendirian 1 hari atau bahkan 1 jam saja pasti tidak tega. Khawatir si kecil jatuh, melakukan sesuatu yang berbahaya, kelaparan atau kehausan. Kasus ini bisa dikatakan puncak gunung es, bagaimana generasi saat ini telah banyak kehilangan kasih sayang dari para ibu. Penelitian di Amerika menemukan bahwa lebih dari 60% anak-anak di Amerika mengalami MKKB atau Masa Kecil Kurang Bahagia, ini menyebabkan mereka mengalami persoalan mental atau mental illness di usia dewasanya (sumber: youtube Satu Persen berjudul Luka Dibalik Stereotype Gen Z). Mengapa ini semua bisa terjadi? Jika kita telusuri hal yang lebih mendasar lagi bahwa ide-ide feminisme yang mengukur nilai seorang wanita dengan tolak ukur materi, menjadikan peran ibu rumah tangga menjadi sangat rendah. Seorang wanita dengan gelar ibu rumah tangga dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan uang atau materi. Padahal peran yang dimainkan seorang ibu rumah tangga sangat penting bagi sebuah peradaban, yaitu mengasuh dan mendidik generasi. Maka kapitalisme telah gagal mendidik para ibu, karena kapitalisme telah merendahkan peran keibuan, sehingga membuat para ibu meninggalkan fitrahnya dan akhirnya korbannya adalah generasi yang terabaikan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar