Oleh : Ai Sopiah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak agar Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat memblokir game online yang mengandung kekerasan dan seksualitas.
Pasalnya, game seperti itu bisa berdampak buruk pada anak terutama yang bergenre battle royale seperti Free Fire yang sangat populer saat ini. Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, siap memblokir atau mentakedown game-game online tersebut apabila terbukti bermuatan kekerasan dan pornografi. “Jika memang terbukti, saya langsung minta ditakedown,” tegas Budi Arie saat dihubungi, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (12/4). (Katadata, 12/4/2024).
Game online bisa berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Apalagi jika dalam game tersebut terdapat konten kekerasan, seperti adu senjata, kekerasan fisik, kata-kata kasar, atau tindakan brutal lainnya yang akan berdampak pada perilaku anak yang masanya masih suka meniru perbuatan yang dilihatnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah memasukkan kecanduan game online ke dalam daftar penyakit dalam laporan International Classification of Diseases edisi 11 (ICD-11). Dengan demikian, kecanduan game resmi masuk sebagai gangguan kesehatan jiwa.
Mengutip laman Betterparent, kecanduan game online memberikan dampak buruk, di antaranya (1) susah mengontrol emosi, (2) sulit fokus, (3) penglihatan bermasalah, (4) sering mengalami nyeri pada otot, (5) keinginan bersosialisasi di dunia nyata berkurang, (6) kualitas tidur terganggu dan sering insomnia, serta (7) terjadi perubahan fisik pada tubuh, seperti tubuh menjadi gampang lelah, malas bergerak, hingga memicu munculnya berbagai penyakit berbahaya lainnya.
Kita tidak menampik bahwa pada era digitalisasi, generasi saat ini mau tidak mau akan mengenal dunia digital, seperti media sosial dan game online. Hanya saja, pemerintah tampak kurang mempersiapkan regulasi tentang cara mendidik dan membangun generasi melek digital yang tidak sampai kebablasan memanfaatkan digitalisasi.
Meski pengawasan dan pendidikan adalah kewajiban orang tua, tetapi tugas utama negara adalah memberikan suasana yang mendukung tumbuh kembang generasi agar menjadi individu unggul yang berwawasan, melek digital, juga berkepribadian dan berakhlak mulia.
Hari ini, digitalisasi justru membawa dampak buruk bagi generasi. Sebagai contoh, anak yang kecanduan game online, perubahan perilakunya tidak akan jauh berbeda dengan orang yang kecanduan narkoba. Mereka yang sudah masuk kategori kecanduan game online bisa melakukan tindakan kriminal di luar nalar, nauzubillah.
Tidak hanya itu dampak kecanduan game online pun bisa meremehkan waktu. Seperti solat wajib yang mungkin terlewatkan Karena keasyikan main, waktu makan yang tidak teratur dan kurangnya tidur karena begadang semalaman hanya demi bermain game. Hal demikian sudah menjangkiti generasi generasi muda dan anak-anak.
Beberapa waktu silam, ada anak mencuri dan memalak hingga tega membunuh orang tuanya demi game online. Belum lagi maraknya perundungan, perdagangan anak, pornografi, hingga pelecehan seksual, juga berawal dari game online.
Patutlah kita bertanya, sudah sejauh mana keseriusan negara dalam mencegah dan mengatasi game online yang berdampak buruk bagi generasi? Sangat wajar jika masyarakat menyangsikan keseriusan negara melindungi generasi dari hal ini.
Ironisnya, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga pernah mengatakan bahwa game online dapat menyumbangkan devisa bagi negara jika dikembangkan dengan serius. Ia mencontohkan, Cina dan Korea Selatan sudah lebih dahulu dalam hal pengembangan game online. Kapitalisasi industri game di Cina telah mencapai USD15 juta.
Bagi penguasa yang memang sudah berwatak kapitalis, selama bisa menghasilkan cuan, game pun dikembangkan secara serius. Sistem sekuler kapitalisme telah membuat penguasa negeri ini kehilangan arah dalam membangun generasi.
Inilah dampak buruk penerapan sistem sekuler kapitalisme. Pencapaian dan kebahagiaan tertinggi adalah mendapatkan materi sebesar-besarnya. Urusan rusak tidaknya generasi akibat kebijakan salah seakan diabaikan.
Islam tidak antiteknologi. Islam juga tidak melarang game. Hukum asal game online sendiri adalah mubah. Akan tetapi, kemubahan itu bisa menjadi haram jika aktivitas game online sampai melalaikan kewajiban seorang hamba kepada sang pencipta, mengandung unsur kemaksiatan, kekerasan, hingga kejahatan.
Teknologi ibarat pisau bermata dua. Bisa bermanfaat dengan visi misi yang tepat, bisa juga berbahaya jika dimanfaatkan dengan cara pandang yang salah. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan teknologi pada era digitalisasi, Islam punya arahan agar teknologi tersebut bisa berdaya guna bagi masyarakat tanpa melalaikan kewajiban mereka untuk taat kepada Allah Taala.
Di antaranya pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sistem pendidikan Islam berfokus pada pembentukan pola sikap dan pola pikir generasi agar bersesuaian dengan Islam. Dengan akidah yang kuat, setiap peserta didik akan memiliki visi misi hidup yang berorientasi akhirat. Mereka mampu menilai dan menimbang aktivitas yang bermanfaat dan yang tidak. Terhadap perkara wajib dan sunah, mereka akan lebih mengutamakannya ketimbang perkara mubah. Para peserta didik juga akan mampu meninggalkan segala bentuk keharaman. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
"Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR Al Hakim dalam Al Mustadrak-nya)
Kedua, mengatur dan mengontrol industri game. Negara akan melakukan proteksi penuh dalam mewujudkan generasi unggul dan bertakwa. Salah satunya ialah menyaring dan memblokir setiap konten game, konten tayangan, serta media yang mengandung unsur kemaksiatan, kekerasan, dan kejahatan. Negara hanya akan memberlakukan pemanfaatan teknologi yang mengandung unsur edukasi dan bermanfaat secara positif. Negara akan mengontrol pengembangan industri game agar tidak menjadi aktivitas mubah yang melalaikan dari kewajiban sebagai hamba Allah Taala.
Ketiga, penegakan hukum yang tegas. Sistem sanksi Islam akan memberikan hukuman kepada siapa pun yang menyalahi serta bertentangan dengan visi misi pendidikan Islam. Perusahaan yang mengembangkan industri game yang merusak akan diberi sanksi berupa takzir, yakni ketentuan sanksi berdasarkan wewenang khalifah. Di sisi lain, pemberlakuan sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku/pelanggar syariat. Alhasil, setiap tindak kejahatan atau kemaksiatan tidak akan berkembang luas atau bebas seperti sekarang ini.
Keempat, negara akan memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia. Bahkan, negara akan mengembangkan teknologi ini dengan memberdayakan SDM yang mumpuni. Dengan visi misi yang tepat, teknologi akan menjadi salah satu mercusuar berkembangnya peradaban Islam yang mendunia.
Demikianlah, Islam memiliki cara pandang yang khas dalam membangun peradaban manusia. Islam juga tidak menutup diri dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Hanya saja, Islam memiliki pengaturan, pengontrolan, dan pengawasan dalam arus digitalisasi agar tidak terbawa dampak negatif yang ditimbulkan dari teknologi tersebut. Dengan sistem Islam (Khilafah), generasi terlindungi dari kerusakan dan dampak buruk game online. Maka untuk mencapai kondisi yang demikian marilah kita bersama-sama mengkaji Islam secara kaffah.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar