Oleh : Ummu Fadillah
Dilansir dari Bisnis.com, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, menyoroti perbedaan angka e-alokasi dan realisasi kontrak dalam pupuk subsidi imbas adanya laporan langkanya pupuk subsidi di daerah. Menurut data yang diperoleh Sudin, pupuk subsidi yang dialokasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan) tercatat sebesar 7,85 juta ton, sedangkan dalam realisasi kontrak Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) antara Kementan dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) hanya 6,68 juta ton.
Berdasarkan e-alokasi 2023 sebesar 7,85 juta ton sementara berdasarkan anggaran kontrak DIPA antara Pupuk Indonesia dengan Kementan jumlahnya cuma 6,68 juta ton. Mana yang benar?” tanya Sudin dalam Raker dengan Komisi IV di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/8/2023). Merespons pertanyaan tersebut, Direktur Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil, menuturkan bahwa awalnya Kementan mengalokasikan sebesar 7,85 juta ton pupuk subsidi untuk seluruh kabupaten/kota.
Langkanya pupuk diduga akibat perbedaan alokasi dan realisasi kontrak pupuk subsidi antara Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia. Perbedaan ini terjadi karena adanya keterbatasan anggaran Kementan Pada faktanya penyediaan pupuk tidak bisa dipisahkan dnegan kebijakan ekonomi yang memungkinkan adanya monopoli perusahaan yang memiliki modal besar. Hal ini satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme.
Sebagaimana diketahui, pasokan pupuk subsidi untuk setiap daerah dalam beberapa tahun terakhir ini selalu kurang dari kebutuhan.Pasokan pupuk Urea dan NPK Phonska subsidi hanya sekitar 65 persen dari kebutuhan. Kekurangan pasokan pupuk subsidi tersebut dinilai sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat pengecer (pasar) di masing-masing sentra produksi.
Jika petani membeli pupuk urea non subsidi harganya bisa mencapai Rp 450.000 per/zak, sedangkan harga pupuk urea bersubsidi dengan HET Rp 112.500/zak. Penggunaan pupuk urea non subsidi akan menjadi beban keuangan petani, biaya produksi bertambah dan sebaliknya keuntungan semakin rendah.
Karenanya, dalam upaya mendukung eksistensi usaha tani memproduksi bahan pangan beras sekaligus memenuhi ketahanan pangan lokal maupun nasional sebagaimana dicanangkan Presiden Jokowi baru-baru ini, pemerintah harus benar-benar memperhatikan nasib petani.
Untuk meminimalisir bahkan menghilangkan praktik monopoli pendistribusian pupuk bersubsidi yang mengakibatkan kesengsaraan petani-petani kecil. Pemerintah harus benar benar menindak tegas bagi oknum-oknum yang membuat masyarakat resah dengan kelangkaan pupuk tersebut.
Belum lagi dengan hasil panen yang di hargai dengan harga yang tak sesuai ini membuat masyarakat petani mungkin tidak puas. Kelangkaan pupuk dan mahalnya pupuk nonsubsidi membuat petani mungkin panik. Kegiatan yang dilakukan para produsen dan distributor pupuk sudah sangat meresahkan, sehingga pengawasan harus dimaksimalkan.
Permainan para distributor saat ini bener- bener nyata ,bahwa semua masyarakat tahu jadi tidak perlu ditutup-tutupi. Pemerintah harus meminimalisir monopoli ini.
Faktanya, penyediaan pupuk tidak dapat dipisahkan dari kebijakan ekonomi kapitalis yang memungkinkan adanya monopoli perusahaan pemilik modal besar. Hal ini merupakan satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Sementara itu, dalam sistem Islam terdapat regulasi yang memudahkan para petani dalam berusaha, yaitu dengan membuat berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat, bahkan ada mekanisme pemberian negara tanpa kompensasi termasuk sarana produksi pertanian. Dengan kebijakan yang diterapkan dalam sistem Islam, memungkinkan negara memiliki ketahanan pangan yang kuat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar