Oleh : Melinda, S.Si.
"Mengerjakan haji merupakan kewajiban hamba terhadap Allah yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha kaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam." (TQS. Al Imran[3] : 96)
Rindu pemimpin sekaligus khalifah seperti Harun ar Rasyid, dikisahkan oleh Maulana Muhammad Zakarriya al Kandahlawi dalam kitabnya “Fadhilah Sedekah” bahwa setiap tahun Harun ar-Rasyid menunaikan ibadah haji dan selalu membawa 100 ulama beserta anak-anak mereka bersamanya. Pernah pada saat-saat berjihad, ia mengirim 300 rakyatnya untuk pergi haji. Biaya dan semua pembelanjaan, barang perbekalan, pakaian dan lain-lain ditanggung olehnya. Gambaran ini berbeda dengan kondisi saat ini.
Saat ini kondisi umat terpecah belah, disekat-sekat oleh paham nasionalisme, dibelenggu oleh sistem sekuler kapitalis. Ibadah haji yang menjadi momen menyatukan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia menjadi sulit untuk ditunaikan. Maka umat wajib melakukan amar ma'ruf nahi munkar yang akan mengantarkan kepada pelaksanaan kewajiban lainnya.
Momen ibadah haji bukti bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Kaum muslimin harus bersatu bergerak bersama memperjuangkan diterapkannya Islam Kaffah dibawah satu kepemimpinan. Mengangkat seorang khalifah yang berlaku adil, penguasa yang bukan hanya mempermudah urusan ibadah haji tapi juga seluruh urusan umat. Bukanlah tunduk pada penguasa yang dzalim terhadap rakyatnya.
"Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Indonesia dengan mayoritas muslim dan penduduk muslim terbesar dunia senantiasa mengirimkan jamaah haji terbanyak dunia setiap tahunnya. Namun, tidak sebanding bahkan jauh sekali perbandingannya dengan jumlah penduduk muslim yang tidak bisa menunaikan ibadah haji. Biaya haji yang besar dibandingkan pendapatan masyarakat menjadi kendala untuk bisa menunaikan rukun islam yang kelima ini.
Tahun 2023 ini Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) hampir 100% dari tahun 2022, menjadi sebesar Rp.69.193.733,60. Biaya ini 70% dari biaya yang seharusnya ditanggung oleh jamaah haji setiap orangnya. Sementara sisanya yaitu biaya sebesar 30% diambil dari dana nilai manfaat (dalam bahasa perbankan sebagai bagi hasil atau bunga bank) yang didapatkan dari investasi dana jemaah haji yang per akhir 2022 lalu mencapai Rp166 triliun (kemenag.go.id). Bukan tak mungkin banyak calon jamaah haji yang akhirnya akan mengurungkan keberangkatan haji jika memang BPIH naik.
Kesulitan menunaikan ibadah haji melengkapi kesulitan kaum muslimin ditengah arus kapitalisasi. Ibadah jika bisa dijadikan ladang untuk menghasilkan keuntungan materi, akan dieksploitasi dan diambil manfaat ekonomimya. Tak terkecuali oleh negara kaya seperti Arab Saudi. Berdasarkan Global Destination Cities Index yang dirilis oleh Mastercard yang dikutip dari CNN, Arab berhasil memperoleh pendapatan sebesar US$20 miliar atau Rp300 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS) dari turis pada 2018 dari penyelenggaraan ibadah haji (cnnindonesia.com).
Inilah gambaran negara yang menjadikan agama sebatas pada ibadah ritual semata, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya diatur dengan aturan manusia. Inilah kondisi umat ketika tidak ada khalifah. Seharusnya pemerintah memfasilitasi dan mempermudah akses ibadah haji, subsidi bagi jamaah haji dianggap sebagai beban negara. Hanya dengan pengaturan Islam ibadah haji menjadi mudah.
Wallahu'alam bishshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar