Banjir di Balikpapan, Ketika Pembangunan Masif Menyisakan Setumpuk Masalah


Oleh: Noura 

Hujan lebat mengguyur Balikpapan dan membawa dampak yang lebih besar dari sekadar genangan air. Di Karang Joang, Balikpapan Utara, masalah klasik kembali muncul, banjir. Namun, kali ini, banjir bukan hanya masalah alam. Proyek-proyek besar yang digagas untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) tampaknya tidak mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Tanpa solusi yang memadai, banjir ini bukan hanya sekadar fenomena musiman, melainkan buah dari kelalaian dalam perencanaan pembangunan.

Masifnya pembangunan proyek IKN yang terus digulirkan seakan tak mempedulikan resiko ekologis yang mengikutinya. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPRD Balikpapan, Halili Adinegara, masalah utama terletak pada kurangnya infrastruktur penunjang yang mumpuni. Banjir yang terus berulang ini bukan sekadar disebabkan oleh intensitas hujan, tetapi juga oleh ketidakmampuan saluran drainase yang ada menampung volume air yang terus meningkat. Bahkan, di kawasan tol, tiang pancang yang berdiri di atas sungai turut memperburuk keadaan.

Proyek besar IKN yang menjanjikan kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan yang matang. Pembangunan tanpa memperhitungkan aspek ekologi seperti penggundulan hutan dan perubahan struktur tanah hanya memperburuk kondisi yang ada. Masyarakat setempat kini terjebak di tengah gemuruh konstruksi, terpaksa menanggung dampak buruk yang tak terduga dari proyek yang mengatasnamakan kemajuan.

Masalah banjir di Karang Joang dan daerah sekitarnya adalah cermin dari kegagalan perencanaan pembangunan yang tidak berbasis pada prinsip keberlanjutan. Masalah utama tidak hanya berasal dari faktor alam, tetapi lebih dari ketidakseimbangan antara pembangunan yang dipaksakan dengan kondisi lingkungan yang ada. Pengupasan lahan yang massif, baik yang berizin maupun tidak, mengubah tata air dan ekosistem yang ada, memperparah kerusakan lingkungan yang sudah ada. Sementara pembangunan infrastruktur pendukung sebagai solusi pencegahan tak kunjung dibangun karena dalih "keterbatasan anggaran", rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

Banjir adalah bukti nyata bahwa kebijakan pembangunan saat ini lebih mengutamakan kecepatan pengerjaan daripada kajian mendalam mengenai dampaknya terhadap kehidupan warga.

Ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ini adalah bukti bahwa ketika pembangunan yang dilakukan tanpa strategi matang dan pengawasan ketat, apalagi tanpa memperhatikan keseimbangan alam, hanya akan membawa bencana. 

Lantas, apa yang salah? Sistem Kapitalisme yang menjadi dasar pengaturan kehidupan hari ini memandang alam sebagai objek eksploitasi, bukan titipan yang harus dijaga. Logika kapitalistik yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek terus menjadi panglima, menyingkirkan pertimbangan ekologi dan keberlanjutan.


Saatnya Belajar dari Islam

Islam memandang bumi ini bukan milik mutlak manusia. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41). Kerusakan ini, termasuk banjir yang terus berulang, adalah konsekuensi dari abainya manusia terhadap hukum Sang Pencipta.

Dalam pandangan Islam, bumi ini milik Allah. Manusia hanya diberi amanah untuk mengelola, dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya. Maka setiap kebijakan tata kota, alih fungsi lahan, hingga pembangunan infrastruktur seharusnya berlandaskan syariat. Bahkan dalam pembangunan sebesar pemindahan ibu kota pun, aspek strategis, politik, sosial, dan lingkungan akan menjadi pertimbangan menyeluruh, bukan hanya mengejar fisik dan citra.

Lebih dari itu, pemimpin dalam sistem Islam bukan sekadar pejabat administratif, melainkan raa'in—pengurus urusan rakyat. Ketika terjadi bencana seperti banjir, ia tidak akan bersembunyi di balik meja birokrasi, tapi hadir dengan solusi konkret, cepat, dan tuntas.


Menuju Perubahan Paradigma

Banjir yang terjadi hari ini bukan hanya masalah air, tapi cerminan kegagalan sistemik. Selama paradigma pembangunan masih seperti sekarang—asal jadi, asal cepat, asal untung—maka genangan air akan selalu datang, bersama keluhan warga yang tak didengar.

Sudah saatnya kita berpikir ulang, apakah kita mau terus mempertahankan sistem yang terus menyakiti rakyat dan merusak alam, atau berani berpindah pada tata kelola berbasis akidah yang mendatangkan keseimbangan dan keberkahan sebagaimana Islam telah mencontohkan?

Jika pembangunan adalah keniscayaan, maka biarlah itu menjadi pembangunan yang maslahat, bukan yang memicu mafsadat. Karena kemajuan sejati bukan diukur dari gedung yang tinggi atau jalan yang lebar, tapi dari seberapa aman dan tenteram rakyat tinggal di atasnya.

Wallahu'alam




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar