Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Rupanya keputusan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang secara resmi menghentikan siaran TV Analog atau Analog Switch Off (ASO) Jabodetabek pada 2 November 2022, telah membuat masyarakat tidak hanya yang berada di kawasan Jabodetabek menjadi galau. Betapa tidak, bagi sebagian masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah hiburan termurah yang masih bisa dinikmati tanpa perlu membeli kuota hanyalah TV. Apalagi emak-emak, saat istirahat dari aktivitas rumah maka menonton TV jadi pilihan alternatifnya.
Kendati masyarakat di luar Jabodetabek sebenarnya masih bisa menikmati TV analog, tak urung membuat keresahan karena harus menata ulang pengeluaran ke depan untuk membeli Set Top Box (STB) dan berbagai instrumen pendukungnya. Dan tentu saja hal itu semakin menambah beban kesulitan, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang, maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), harga sembako yang semakin naik, biaya kesehatan dan pendidikan yang semakin mahal, belum BBM, tarif listrik, dan PAM yang ikut-ikutan naik.
Sebetulnya teriakan masyarakat atas hal ini terus bergema, baik secara langsung maupun melalui media sosial, namun seperti kasus yang lainnya suara tersebut seolah diredam bak salah satu iklan di TV, "Wus... wus... nyaris tak terdengar!"
Siapakah yang meredam? Tentu saja pihak-pihak yang diuntungkan dalam proyek ini. Lalu apa keuntungannya bagi masyarakat? Dengan beralih ke siaran digital, pemerintah menjanjikan pengalaman menikmati konten siaran televisi lokal yang lebih baik bagi masyarakat. Semoga kali ini janjinya dapat ditepati.
Sambil menunggu janji, ada baiknya menelisik lebih jauh ada apa di balik ini semua. Kepada Republika (04/11/2022), Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa siaran televisi analog ke digital tersebut merupakan arahan dari The International Telecommunication Union (ITU) yang merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bidang teknologi informasi dan komunikasi. ITU telah mengesahkan kesepakatan antarnegara di dunia untuk mengutamakan penggunaan frekuensi 700 MHz untuk telekomunikasi.
Untuk merealisasi hal tersebut maka pemerintah menuangkannya melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 60 A UU 11/2020 terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) untuk dilakukan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya aturan tersebut. Diantara peraturan tersebut adalah:
1). Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran mengungkapkan kewajiban penghentian siaran televisi analog paling lambat 2 November 2022 pukul 24.00 WIB (Pasal 97 ayat (1) b).
2). Peraturan Menkominfo No. 11 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran juga mengungkapkan kewajiban semua lembaga penyiaran untuk menyetop siaran analog pada 2 November 2022.
Beliau juga menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap ilegal dan bertentangan dengan hukum.
Seperti ketika masyarakat dipaksa beralih dari kompor minyak tanah ke kompor gas, kali ini pun pemerintah mulai mendistribusikan STB untuk rumah tangga miskin secara nasional sejumlah 1.055.360 unit. Namun dalam proses migrasi ini, sebagian masyarakat mengaku belum mendapatkan sosialisasi, bahkan ada yang kesulitan mendapat STB. Oleh karena itu, jika migrasi tidak dilakukan dengan hati-hati, masyarakat akan kehilangan haknya untuk dapat mengakses siaran TV.
Apalagi instrumen bantuan pemerintah hanya STB, sedangkan instrumen lain untuk bisa mengakses layanan TV digital tentu harus disediakan sendiri. Terlebih, TV tabung yang selama ini menjadi instrumen TV analog tidak bisa digunakan untuk menyaksikan tayangan TV digital. Demikian pula TV layar datar, tidak semuanya bisa ditransformasi menjadi instrumen TV digital.
Lalu bagaimana nasib stasiun-stasiun TV lokal yang selama ini masih bergerak di TV analog? Mereka sudah pasti kalah dengan para konglomerat stasiun TV swasta maupun internasional. Selain instrumen penyedia layanan siaran digital, modal TV lokal jelas kalah jauh dengan para konglomerat media besar.
Jelaslah sudah perubahan ini menunjukkan bahwa UU Ciptaker tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Nampak keberpihakan penguasa kepada korporasi, bukan pada rakyat banyak. Inilah wajah buruk pemerintahan yang dikuasai oligarki. Diantara bukti nyatanya adalah produk STB itu sendiri. PT Industri Telekomunikasi Indonesia atau PT INTI adalah salah satu produsen STB yang hingga akhir tahun ini menargetkan jumlah produksi STB sebanyak 50 ribu unit.
Meningkatnya pesanan STB membuat banyak pihak mendapat keuntungan, diantaranya:
1). Kemkominfo untuk penyebaran perangkat hingga ke berbagai pelosok daerah.
2). Pihak multiplexer stasiun televisi swasta atau daerah yang berkewajiban untuk menyelenggarakan layanan televisi digital.
3). Retail kalangan agen, distributor, dan marketplace.
Pihak yang juga diuntungkan adalah yang berkecimpung pada bisnis internet 5G sebab frekuensi bekas TV analog disebut-sebut akan dialihkan ke jaringan 5G. Dengan adanya migrasi TV digital, daerah-daerah yang selama ini blank spot sinyal nantinya bisa dibangun infrastruktur akses internet 5G, tentunya dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan 4G. Dengan demikian, layanan telekomunikasi Indonesia diklaim akan makin meningkat. Semoga ini juga bukan hanya janji.
Sungguh menunggu janji di sistem kapitalis adalah hal yang paling membosankan dan realitanya hanya ada dalam khayalan sebab segala sesuatu di alam kapitalisme akan selalu dianggap sebagai komoditas ekonomi. Angka produksi dan penilaian berdasarkan harga barang/jasa menjadi nyawa bagi roda ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme sama sekali tidak bertumpu pada distribusi ekonomi atau kekayaan kepada masyarakat luas. Jadi tujuannya bukan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan, bukan untuk itu.
Belum lagi adanya bahaya liberalisasi budaya. Dengan TV digital yang mampu lebih luas menerima jaringan siaran televisi akan sangat mungkin menyiarkan berbagai tayangan yang makin merusak generasi. Akan seperti apa jadinya, sedangkan sekarang saja sudah sebegitu merosotnya akhlak mereka. Generasi stroberi, alay, mager, tawuran, seks bebas, narkoba, dan masih banyak lagi kenakalan yang dilakukan mereka akibat dijauhkannya agama dari kehidupan mereka.
Berbeda dengan sistem Islam. Setiap individu yang berkewarganegaraan Daulah Islam (Khilafah), boleh mendirikan suatu media informasi, baik cetak, audio, audio visual, analog, maupun digital. Pendirian media informasi ini hanya perlu menyampaikan informasi atau laporan yang memungkinkan Lembaga Penerangan Daulah Islam mengetahui pendiriannya.
Pemerintah Khilafah adalah pihak yang paling bertanggung jawab memegang kendali media informasi, khususnya dari aspek infrastruktur media dan konten dari media tersebut. Khilafah akan menindak tegas apabila ada pemilik lembaga media yang melanggar kebijakan yang telah Khilafah tetapkan.
Selanjutnya, untuk rakyat, Khilafah bertanggung jawab menyediakan instrumen penyedia layanan siaran media. Khilafah hanya menyediakan konten-konten siaran/tayangan yang edukatif sesuai aturan Islam, serta sebagai sarana dakwah Islam.
Selain itu, Khilafah tidak akan membiarkan para pemilik kapital menjadi pengendali media informasi, apalagi sampai membisniskannya kepada rakyat. Khilafah hanya akan tunduk pada Sang Pemilik sekaligus Penguasa alam semesta, yaitu Allah SWT. Bukan pada PBB, asing, aseng, atau pemberi utang riba.
Sungguh kepemimpinan seperti itu adalah nyata adanya. Sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas betapa kepemimpinan seperti itu dapat berjaya berabad-abad lamanya. Dan Allah SWT. telah berjanji akan ada kepemimpinan seperti itu lagi. Allah SWT. tidak pernah ingkar janji. Tinggal kita melayakkan diri dalam menyongsong janji Allah SWT. tersebut. Sudah siapkah kita?
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar