Oleh : Dini Harefa (Aktivis Dakwah)
Kembali dugaan korupsi terjadi di jajaran Menteri. Syahrul Yasin Limpo merupakan menteri keenam era pemerintahan Jokowi yang terseret kasus dugaan korupsi. Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri keenam pada era pemerintahan Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi. Para pegiat anti-korupsi menilai tren perkara korupsi di kalangan menteri terjadi karena pengawasan presiden yang lemah terhadap para bawahannya.
Munculnya kasus dugaan korupsi di kalangan menteri, menurut peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Kurniawan, tidak saja menunjukkan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tapi tidak adanya perubahan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.
"Sebagian besar kasus yang menjerat menteri terungkap bukan karena pengawasan internal oleh presiden, tapi laporan eksternal dari penegak hukum," ujar Yuris via telepon, Jumat (06/10).
Hingga berita ini diturunkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mempublikasikan secara rinci detail kasus yang diduga melibatkan Syahrul Yasin Limpo. Dalam beberapa hari terakhir, KPK menggeledah rumah dinas Syahrul dan beberapa pejabat di kementeriannya
Semua menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya ilusi. Pembentukan KPK nyatanya tak benar benar menghentikan laju korupsi. Korupsi satu keniscayaan dalam sistem demokrasi, bahkan mustahil untuk di hilang kan sekalipun harus mengganti generasi hari ini dengan yang baru. Tapi dengan sistem yang sama akan tetap akan memunculkan efek yang serupa.
Akibatnya makin banyak jumlah warga miskin yang makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data BPS, jumlah warga miskin di Indonesia pada Maret 2023 mencapai 25,90 juta orang. Pemerintah menetapkan bahwa pengeluaran masyarakat kurang dari Rp17.851 per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Namun, jika menggunakan ukuran Bank Dunia yang menetapkan warga dengan penghasilan di bawah US$ 2,15 per hari (sekitar Rp33 ribu) terkategori miskin, maka jumlah warga miskin di Indonesia bisa mencapai 110 juta orang alias 40% dari jumlah penduduk.
Melihat naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok, kelihatannya angka kemiskinan versi Bank Dunia lebih riil. Meroketnya harga beras membuat warga di sejumlah daerah mencampur nasi dengan singkong untuk menyiasati makan sehari-hari. Bukan hanya beras. Sejumlah harga kebutuhan pokok lain seperti gula, telur, daging ayam juga naik. Para petani juga makin kesusahan karena sudah tidak ada lagi subsidi pupuk.
Untuk mendapatkan pekerjaan pun bukan hal yang mudah. Menurut Wapres, 14 dari 100 anak muda Indonesia tidak terserap lapangan kerja. Total jumlah pengangguran pada tahun 2023 ada 7,9 juta jiwa. Tentu saja ini menjadi tambahan beban kehidupan masyarakat.
Krisis ekonomi ini makin terasa dengan banyaknya keluhan para pedagang akan sepinya pembeli. Sudah beberapa tahun belakangan sejumlah mal tutup, bahkan diobral karena makin sepi pengunjung. Para produsen dan pedagang juga menjerit karena membanjirnya barang-barang impor dari Cina yang harganya jauh lebih murah; apalagi yang dijual lewat e-commerce cross border, perdagangan online.
Namun, seperti menutup mata dari beban rakyat, Pemerintah tetap ngotot melanjutkan sejumlah proyek raksasa; pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), padahal dua Mega proyek tersebut menggerogoti APBN. Di sisi lain masih ada puluhan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto angkat suara perihal 58 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak. Totalnya bernilai Rp420 triliun.
Bukannya meringankan beban pengeluaran warga, Pemerintah malah membuat keputusan menaikkan harga BBM seperti Pertamax, Pertamax Dex, Pertamax Turbo. Sebelumnya, Pemerintah juga telah menaikkan tarif sejumlah ruas tol. Kenaikan-kenaikan ini otomatis akan mendorong kenaikan barang dan jasa, menyebabkan menurunnya daya beli dan inflasi. Lagi-lagi rakyat pun makin terjepit
Inilah akibat jika demokrasi tetap kita pertahankan, kemiskinan akan menurun ke anak cucu, makin tak ada harapan kedepannya, korupsi hanya satu dari sekian banyak problem yang muncul akibat penerapan sistem yang salah. Memperbaikinya akan sulit, karena hal itu sudah tersistematis. Rakyat akan terus dirugikan jika kita tetap bertahan, perlima tahun sekali rakyat terus mencari peruntungan dengan mengganti posisi pengurus negeri ini tapi tiap kali itu pula rakyat di khianati. Hak nya di rampas, tanah diambil, keadilan tak diberi, kesejahteraan apalagi. Terus dan terus begitu tiap tahun nya, tak terasa rakyat hampir hampir menghidupi diri nya sendiri di tengah harga harga yang tak wajar.
Akan kah ketidakwajaran ini menjadi konsumsi kita tiap hari nya, atau menunggu ajal tiba dan ini selesai bagi kita tapi akan terus berlanjut ke generasi yang mendatang. Islam mengancam para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak-hak mereka. Sabda Rasulullah saw.:
Ù…َا Ù…ِÙ†ْ Ø¥ِÙ…َامٍ ÙŠُغْÙ„ِÙ‚ُ بَابَÙ‡ُ دُونَ Ø°َÙˆِÙŠ الْØَاجَØ©ِ ÙˆَالْØ®َÙ„َّØ©ِ ÙˆَالْÙ…َسْÙƒَÙ†َØ©ِ Ø¥ِÙ„َّا Ø£َغْÙ„َÙ‚َ اللَّÙ‡ُ Ø£َبْÙˆَابَ السَّÙ…َاءِ دُونَ Ø®َÙ„َّتِÙ‡ِ ÙˆَØَاجَتِÙ‡ِ ÙˆَÙ…َسْÙƒَÙ†َتِÙ‡ِ
“Tidak seorang pemimpin pun yang menutup pintunya dari orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya.” (HR at-Tirmidzi).
Namun, sadarkah kita, bahwa pemimpin yang adil yang bekerja keras untuk menjamin kehidupan warganya hanya terwujud jika kita tetap dalam pusaran sistem manusia yang hari ini jelas menampakkan kerusakan nya dan berakibat fatal bagi seluruh alam.
Demokrasi tak benar benar peduli dengan kemanusiaan, tak peduli dengan alam, dan tak peduli dengan amanah yang pernah dijanjikan. Yang mereka peduli bagaimana memperkaya diri sendiri, bukan menjadi rahasia umum lagi.
Wallahu'alam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar