Oleh: Ai Sopiah
Tidak terasa tahun 2023 Masehi sudah berganti, banyak orang berpartisipasi merayakan pergantian tahun Masehi ini. Perayaan malam Tahun Baru identik dengan pesta kembang api. Masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikan pesta kembang api yang diluncurkan pada detik-detik pergantian tahun.
Jalanan pun mengalami kemacetan jelang malam pergantian tahun. Pesta kembang api jadi acara yang tidak ingin dilewatkan ketika malam Tahun Baru berlangsung.
Malam Tahun Baru memang identik dengan pesta kembang api. Warga mengajak keluarga dan orang-orang terdekat untuk merayakan sambil menyaksikan keindahan dan kemeriahan pesta kembang api malam Tahun Baru.
Jakarta salah satu kota yang menyelenggarakan pesta kembang api saat malam Tahun Baru. Bahkan, event pesta kembang api di Jakarta tidak hanya digelar di satu lokasi.(CNN INDONESIA, 31/12/2023).
Tatkala pergantian Tahun menjadikan suasana yang asyik dengan berpesta pora menghiasi sekeliling, saat kembang api meluncur ke langit ada bom yang meledak di Gaza, saat kita berpesta ada saudara kita yang keadaannya tidak baik-baik saja. Di Aceh, saat semarak pesta Tahun Baru riuh, saat itu pula pengungsi muslim Rohingya terlunta akibat gelombang pengusiran paksa oleh ratusan mahasiswa.
Sudah 21.822 jiwa warga Palestina meregang nyawa sejak genosida entitas Y4hudi membabi buta, sejak itu juga pembelaan terhadap Palestina mulai mengendur. Boikot, misalnya, gaungnya tidak lagi sekencang awal meletusnya pembantaian.
Sepertinya, kaum muslim mulai lupa tentang hakikat ikatan akidah Islam. Kaum muslim terbelah atas pembelaan Rohingya juga pembelaan terhadap Palestina pun mulai memudar. Akankah sikap muslim saat pergantian tahun bisa berakhir dengan menatap sinar Khilafah pada masa depan?
Betapa tersayatnya nasib kaum muslim di berbagai belahan dunia. Ada yang terkurung dalam perang, ada yang terusir tanpa kewarganegaraan, ada yang tersiksa di bawah tangan penguasa tiran, ada pula yang tenggelam dalam kehidupan sekuler liberal yang jauh dari aturan Islam.
Kondisi ini mengingatkan kita pada sabda Nabi saw. tentang kaum muslim, “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya. Maka seseorang bertanya, ‘Apakah karena sedikitnya jumlah kita?’ Bahkan kalian banyak, tetapi kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menimpakan dalam hati kalian penyakit al-wahn. Seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah al-wahn itu?’ Nabi saw. bersabda, ‘Cinta dunia dan takut akan kematian.'” (HR Abu Dawud No. 4297).
Begitulah, kecintaan terhadap dunia melalaikan kaum muslim dari aturan Islam. Generasi terjebak dalam lingkaran budaya kufur yang merusak. Malam pergantian Tahun Baru Masehi kerap diikuti kemaksiatan yang dianggap “lumrah”, semisal seks bebas, pesta miras, narkoba, ikhtilat, dan hura-hura. Dalam satu malam, berkumpul banyak kemaksiatan. Bahkan, budaya kufur seperti perayaan Tahun Baru Masehi pun kerap difasilitasi pemerintah yang turut memeriahkannya.
Apalagi Islam telah melarang seorang muslim untuk ikut merayakan Tahun Baru Masehi dan mengucapkan nya pun tidak boleh karena itu bisa menggoyahkan akidah kita. Dimana banyak sekali kemungkaran yang terjadi pada saat malam Tahun Baru menyerupai orang kafir, kerusakan akidah, kerusakan akhlak seperti membuka aurat, bercampur baur dengan laki-laki. Seperti firman Allah SWT:
Ù„َÙƒُÙ…ْ دِÙŠْÙ†ُÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„ِÙŠَ دِÙŠْÙ†ِ
"Untukmu agamamu dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun : 6)
Tidak hanya di Indonesia yang mayoritas Islam, di negeri muslim lain pun terjadi hal yang sama. Memang, Indonesia tidak lagi dijajah secara fisik, tetapi pemikiran sekuler liberal telah mendarah daging dihati muslim dan menjadi gaya hidup yang sudah hedonis. Inilah bentuk penjajahan pemikiran asing yang memengaruhi pemahaman hingga lahirlah pola sikap yang berkebalikan dari ajaran Islam.
Jika di Indonesia terjajah secara pemikiran, lain halnya di Palestina. Tanah mereka dirampas, rumah mereka dibombardir, dan ruang hidup mereka dirusak bertahun-tahun lamanya. Hampir 2,3 juta penduduk Gaza dipaksa keluar dari rumah mereka melalui serangan tanpa henti selama 12 pekan belakangan. Fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, tempat penampungan, hingga pasokan air dan listrik, dihancurkan bertubi-tubi.
Bersuara membela Palestina dan tetap berisik melawan propaganda Z10nis wajib tetap berjalan. Inilah ranah perjuangan setiap individu kaum muslim. Akan tetapi, memperjuangkan Palestina untuk membebaskannya dari penjajahan dengan tegaknya Khilafah mestinya juga menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang menginginkan kemerdekaan hakiki bagi Palestina. Khilafahlah yang akan mempersatukan kaum muslim di bawah panji Islam dengan menyerukan jihad fi sabilillah.
Membela Palestina seharusnya juga membela muslim Rohingya. Bukankah mereka sama-sama muslim yang wajib kita perhatikan? Pengusiran paksa warga Rohingya oleh ratusan mahasiswa di Aceh sungguh memilukan. Bagaimana mungkin kita berdiri tegak melawan penjajahan Y4hudi atas Palestina, tetapi juga turut menebarkan narasi dan ujaran kebencian atas muslim Rohingya dengan berbagai tuduhan yang belum diketahui pasti kebenarannya? Parahnya, banyak yang menyamakan pengungsi Rohingya dengan entitas Y4ahudi yang akan mencaplok tanah Indonesia. Sungguh miris!
Demikianlah, negara bangsa telah mengikis ikatan akidah Islam di antara kaum muslim. Nasionalisme menjadikan muslim tidak berhati-hati dalam mengambil pemikiran asing sebagai ideologi mereka. Nasionalisme membuat muslim tidak lagi memandang muslim Palestina dan Rohingya sebagai kaum terjajah dan terusir dari tanah kelahirannya.
Nasionalisme mendorong penguasa negeri-negeri muslim hanya berani mengecam tanpa bisa mengirimkan bantuan militer atau menekan entitas Y4hudi dan sekutunya dengan kekuatan politik ekonomi yang mereka mampu, semisal menyetop pasokan minyak untuk Israel dan sekutunya. Nasionalisme adalah anak kandung ideologi sekuler kapitalisme. Ikatan ini terbukti rapuh dan gagal mempersatukan kaum muslim dalam satu kekuatan hakiki.
Umat saat ini hanya membutuhkan pelindung Khalifah yang melindungi seperti pada masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin, yang menegakkan keadilan dengan benar, menerapkan aturan sang pencipta dengan kaffah, dan memperhatikan umat dengan sebaik-baiknya.
Untuk mewujudkan semua itu, kini saatnya umat bangkit dengan ikut memperjuangkan tegaknya Khilafah sebagai perisai hakiki. Mari menatap optimis bahwa sinar Khilafah akan menerangi dunia pada masa depan. Sudah saatnya Islam kembali memimpin peradaban. Dengan begitu, gelar sebagai umat terbaik di muka bumi akan mewujud. Insyaallah.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar